Prof Jaih kemudian mengutip mengarajan Umar Ibn al-Khaththab pada 18 Hijriyah menuliskan kata ”Bismillah,” ”al-Hamdu lillah,” ”Bismi Rabbi,” dan ”Muhammad Rasulullah” (sebagai simbol-simbol Islam) terhadap dinar dan dirham yang berasal dari Bizantium dan Persia.
Baca Juga: Semula 60 Desa Kini 84 Desa Zona Merah, Sebaran Covid-19 di Kudus Semakin Meluas
Menurut ahli sejarah, orang pertama yang menerbitkan Dinar dan Dirham untuk diberlakukan di wilayah (Negara) Islam adalah Abd al-Malik Ibn Marwan (Khalifah Bani Umayah yang berkuasa setelah fase al-Khulafa’ al-Rasyidun) pada tahun 74 H.
Hal itu, sebagai responsi terhadap para gubernurnya yang membuat mata uang sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing, antara lain al-Hajjaj pada tahun 75 H membuat dirham sendiri, yaitu Dirham Baghli.
Kemudian Abdullah Ibn Zubair membuat dinar sendiri dengan membubuhkan namanya pada dinar tersebut (yaitu Abdullah Amir al-Mu’minin), dan Mush‘ab Ibn Zubair (Gubernur Irak) membuat dirham khusus.
Baca Juga: PKJS UI Rekomendasikan Larangan Penjualan Rokok Batangan, Begini Masukannya
Prof Jaih juga menyinggung mengenai kedudukan harta yang diakui sebagai alat tukar (uang), yang pada dasarnya berfungsi sebagai standar nilai dari harta-harta lainnya.
Dalam sejarah, termasuk dalam sejarah Islam, emas dan perak diberlakukan sebagai uang (nuqud) yang bernama dinar (emas) dan dirham (perak). Fungsi uang (nuqud) dijelaskan ulama sebagai berikut:
a. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din (4: 91) menyampaikan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim (pemutus) dan penengah atau mediator (mutawasith) terhadap harta-harta lain untuk mengetahui nilai (qimah)-nya;
Baca Juga: Menteri Yaqut Cholil Qoumas akan Terbang ke Arab Saudi Bahas Penyelenggaraan Haji 2022
b. Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah (680) menyatakan bahwa Allah menciptakan logam emas dan perak sebagai nilah (qimah) bagi semua harta lainnya; dan
c. Sarkhasi dalam kitab al-Mabsuth (2: 191) menyatakan bahwa emas dan perak dalam berbagai bentuk, diciptakan Allah sebagai substansi nilai (qimah) atau harga.
“Ulama membedakan harta menjadi harta al-nuqud (secara harfiah berarti harga atau standar harga (al-tsamaniyyah) dan harta al-‘urudh yang secara harfiah berarti barang,” ujar Prof Jaih.
Baca Juga: Kemenag dan Kedutaan Besar Arab Saudi Bahas Penyelenggaraan Ibadah Haji Umroh 1443 H
Sementara itu kata dia, Al-naqd (al-nuqud; jamak) secara harfiah berarti al-kasyf (pengungkapan); yaitu mengungkapkan sesuatu dan penampakannya.